Get Real



Hari gini masih maen FB dan twitteran? Masih suka galau? Atau malah pengen nyiptain “sesuatu” dalam hidup kamu? Sebenernya masih banyak seabrek pertanyan lain yang bakal kagak ada habisnya ditulis di sini. Banyak organisasi/orang yang dianggap (atau lebih tepatnya “merasa”) sukses dengan menerapkan social (baca sok-sial) network, sebagai salah satu channel komunikasi mereka, walapun ternyata tidak demikian adanya. Karena memang sangat susah untuk bisa menilai keberhasilan suatu kondisi sosial (dalam hal ini komunikasi), mengingat dinamika yang ada di dalamnya yang sangat fluktuatif. Terus kenapa social network jadi “#sesuatu” yang ngetren abis?

Apa sih social network itu?
Berdasarkan penjelasan dari wikipedia, social network adalah sebuah konsep/teori dimana seorang individu merupakan titik (node) yang terhubung dengan titik yang lain karena satu alasan tertentu (mis: keluarga, temen, kesamaan interest/hobby, tinggal di wilayah yang sama, bekerja di tempat yang sama, hingga dari agama yang sama). Hubungan antar titik ini bisa divisualisasikan menjadi menjadi semacam peta hubungan antar individu berdasar pada alasan tertentu untuk kemudian dianalisis untuk berbagai macam keperluan.
Guna memfasilitasi terwujudnya sosial network dalam satu bentuk yang bisa dipahami dan dirasakan manfaatnya, beberapa perusahaan menghadirkan yang disebut sebagai social network service, alias penyedia jasa jejaring sosial, dimana jumlahnya sangat banyak sebenernya, cuma beberapa yang terkenal dan umum dipake saat ini, yaitu facebook en twitter. Perusahaan jejaring sosial ini memperoleh keuntungan utamanya dengan menjual iklan, dan data yang mereka peroleh dari para membernya untuk keperluan analisis tertentu. So, semakin banyak data yang berhasil mereka peroleh, akan semakin tinggi pula akurasi informasinya dan semakin banyak pula analisis yang bisa dilakukan, yang pada akhirnya akan semakin banyak dolar yang bisa diperoleh oleh para penyedia jasa sosial tersebut.
Dengan melihat besarnya potensi penggunaan jejaring sosial ini, kemudian muncul berbagai ide penggunaan jejaring sosial bagi para user aktifnya. Umumnya di Indonesia mereka sering disebut sebagai situs pertemanan, dimana mereka “berasumsi” dengan menggunakan situs pertemanan atau jejaring sosial ini, mereka sudah bersosialisasi dan eksis banget di dunia dan akherat. Sementara bagi para pedagang, begitu mereka tahu potensi yang tersimpan pada situs pertemanan atau jejaring sossial ini begitu besar, spontan saja intuisi dagang mereka tumbuh subur bak jamur di musim duren, eh musim hujan, tanpa perlu banyak cingcong mereka membombardir jejaring sosial dengan iklan dagangan mereka. Sementara bagi mereka yang “gila popularitas”, jejaring sosial ini merupakan surga bagi para narsis-mania untuk menyalurkan hasrat narsis mereka yang menggelora dengan afdol bin toyib. Oya, masih banyak kelompok lainnya yang menggunakan jejaring sosial ini untuk keperluan mereka masing-masing. Karena saking banyaknya kemungkinan penggunaan jejaring sosial ini, in the end, gue ngerasa jejaring sosial adalah tempat sampah informasi saja.
Loh kok tempat sampah? Iya, karena tidak mudah untuk bisa memanfaatkan informasi yang kita peroleh dari sana. Memang selalu ada informasi bermanfaat yang bisa kita ambil, namun yang model kayak gini sangat sedikit sekali jumlahnya. Coba aja kalo kamu lagi online misal selama 30 menit, hitung deh berapa banyak “sesuatu” yang bener-bener bermanfaat bagi kamu? Kondisi ini mirip banget dengan keranjang sampah, dimana selalu aja ada “sesuatu” yang bisa dimanfaatkan di dalamnya, tapi ya sedikit banget, dan seringnya untuk memperoleh yang sedikit ini, harus dengan susah payah karena kudu diproses dulu, sementara 30 menit tersebut kalo kita gunakan untuk membaca al-Quran, lumayan banget gitu looh, yah bisa kurang lebih dapet 1 juz lah.


0 comments :

Post a Comment

Cancel Reply